Selasa, 20 Maret 2012

euforia berbicara.


Salah satu buah reformasi yang spektakuler adalah euforia berbicara. Setiap saat kita dapat melihat para komentator, dan para pakar berbicara tentang topik apa saja, dan sering kali dialog digelar secara  kontroversial dengan berbagai argumentasi yang membuat kita bingung, dan tidak pernah memberikan solusi penyelesaian secara  tuntas dalam menyikapi kondisi bangsa  yang carut marut.
 
Berkata-kata dan kemampuan berbicara memang perlu, apalagi  di depan publik, dan  menjadi sebuah kebutuhan karena kita memiliki fungsi sebagai makhluk sosial dengan kebiasaan berinteraksi antar sesama. Untuk kepentingan itu, berkata-kata adalah sebuah jalan sikap yang harus diambil.

Pada umumnya, orang yang banyak berbicara  adalah orang yang lemah kepribadian. Ciri orang intelek menurut Islam yang disebutkan Al-Qur’an adalah orang yang mendengarkan perkataan orang lain (alladziina yastami’unal qaul) dan mengikuti yang baik dari perkataan itu (fayattabiuna ahsanah). Ia adalah orang yang mau mendengarkan dan menganalisis.

Sementara itu, orang pandai yang suka mendengarkan orang lain akan disukai. Tidak sedikit diantara kita  lebih siap untuk didengarkan daripada mendengarkan. Ada orang yang mempunyai kebiasaan berbicara dulu, baru berpikir sehingga ketika akan berhenti berbicara, dia tidak menemukan bagaimana caranya berhenti atau akan kesulitan untuk berhenti. Karena itu, diam menunjukkan kekuatan kepribadian seseorang. Kemampuan mendengarkan adalah kekuatan kepribadian yang luar biasa besarnya.
Jika ingin berbicara, sebaiknya kita harus benar-benar yakin bahwa apa yang akan disampaikan adalah sesuatu yang baik dan benar dan sudah dipikirkan. Kurangilah perkataan-perkataan yang muncul secara refleks. Biasakanlah diam atau merenung, maka kita akan menjadi produktif dalam hidup. Diam bukan dalam arti kita sama sekali tidak berbicara, melainkan diam dalam arti hanya berbicara jika ada kebutuhan untuk itu Layak disosialisasikan di sini pesan Nabi Muhammad SAW ."Siapa yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian (kiamat), maka hendaklah ia berkata yang baik, atau (kalau dia tidak sanggup) hendaklah dia diam".
Diam memiliki faedah dan syarat kondisionalnya tersendiri. Yang penting adalah kita mengetahui waktu-waktu yang tepat untuk mengambil diam sebagai sikap kala kita berinteraksi dengan orang lain. Diam bahkan bisa menjadi kebiasaan efektif yang bila diterapkan akan membuat diri kita menjadi lebih produktif. Yaitu dengan membiasakan lebih banyak diam dan mendengar daripada berbicara. Sejarah membuktikan Tokoh sekaliber Mahatma Ghandi  dengan Ahimsa-nya  (gerakan tidak berbicara) berhasil  memerdekakan India. Karenanya untuk mewujudkan karya besar, kita tidak perlu banyak mengumbar kata. Wallohu A'lam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar